Friday, December 09, 2005

Aku menangis untuk adikku 6 kali

Sebuah cerita..

Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan punggung mereka menghadap kelangit. Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku. Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yangmana semua gadis disekelilingku kelihatannyamembawanya, Aku mencuri lima puluh sen dari laciayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuatadikku dan aku berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu di tangannya.

"Siapa yang mencuri uang itu?" Beliau bertanya. Akuterpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidakmendengar siapapun mengaku, jadi Beliau mengatakan,"Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!" Dia mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi.Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata,"Ayah, aku yang melakukannya!" Tongkat panjang itu menghantam punggung adikkubertubi- tubi. Ayah begitu marahnya sehingga ia terusmenerus mencambukinya sampai Beliau kehabisan nafas. Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu batakami dan memarahi, "Kamu sudah belajar mencuri dari rumahsekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamulakukan di masa mendatang? Kamu layak dipukul sampaimati! Kamu pencuri tidak tahu malu!" Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukankami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidakmenitikkan air mata setetespun. Di pertengahan malamitu, saya tiba-tiba mulai menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya danberkata, "Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi."
Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memilikicukup keberanian untuk maju mengaku. Bertahun-tahuntelah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupatampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu,adikku berusia 8 tahun. Aku berusia 11.

Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, saya diterima untuk masuk ke sebuah universitas propinsi. Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demibungkus. Saya mendengarnya memberengut, "Kedua anakkita memberikan hasil yang begitu baik...hasil yangbegitu baik..." Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas, "Apa gunanya? Bagaimana mungkinkita bisa membiayai keduanya sekaligus?" Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapanayah dan berkata, "Ayah, saya tidak mau melanjutkansekolah lagi, telah cukup membaca banyak buku." Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya. "Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitukeparat lemahnya? Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di jalanansaya akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!"Dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusunitu untuk meminjam uang. Aku menjulurkan tangankuselembut yang aku bisa ke muka adikku yang membengkak,dan berkata, "Seorang anak laki-laki harus meneruskansekolahnya; kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini." Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan keuniversitas.

Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helaipakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku danmeninggalkansecarik kertas di atas bantalku: "Kak, masuk keuniversitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencarikerja dan mengirimu uang." Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 20. Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun,dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnyasampai ke tahun ketiga (di universitas).

Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan memberitahukan, "Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana!" Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Akuberjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir. Akumenanyakannya, "Mengapa kamu tidak bilang pada temansekamarku kamu adalah adikku?" Dia menjawab, tersenyum, "Lihat bagaimana penampilanku. Apa yangakan mereka pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu?Apa mereka tidak akan menertawakanmu?" Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku.Aku menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dantersekat-sekat dalam kata-kataku, "Aku tidak perduliomongan siapa pun! Kamu adalah adikku apapun juga! Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu..." Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan,"Saya melihat semua gadis kota memakainya. Jadi sayapikir kamu juga harus memiliki satu." Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Akumenarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis danmenangis. Tahun itu, ia berusia 20. Aku 23.

Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana. Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku. "Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untukmembersihkan rumah kita!" Tetapi katanya, sambiltersenyum, "Itu adalah adikmu yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu.." Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan sedikit saleb pada lukanya dan mebalutlukanya. "Apakah itu sakit?" Aku menanyakannya. "Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerjadi lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakikusetiap waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerjadan..." Ditengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air matamengalir deras turun ke wajahku. Tahun itu, adikku 23.Aku berusia 26.

Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Banyak kali suamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, mengatakan, "Kak, jagalah mertuamu aja. Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini." Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan adikku mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut. Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi.

Suatu hari, adikku diatas sebuah tangga untukmemperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat sengatanlistrik, dan masuk rumah sakit. Suamiku dan aku pergimenjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya, sayamenggerutu, "Mengapa kamu menolak menjadi manajer?Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yangberbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yangbegitu serius. Mengapa kamu tidak mau mendengar kamisebelumnya?" Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membelakeputusannya. "Pikirkan kakak ipar--ia baru saja jadi direktur,dan saya hampir tidak berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti itu, berita seperti apa yang akan dikirimkan?" Mata suamiku dipenuhi airmata, dan kemudian keluar kata-kataku yang sepatah-sepatah:"Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!" "Mengapa membicarakan masa lalu?" Adikku menggenggam tanganku. Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29.

Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani dari dusun itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya kepadanya, "Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?" Tanpa bahkan berpikir ia menjawab, "Kakakku."Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan tidak dapat kuingat. "Ketika saya pergi sekolah SD, ia berada pada dusunyang berbeda. Setiap hari kakakku dan saya berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang kerumah. Suatu hari, Saya kehilangan satu dari sarung tanganku. Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu. Ketika kamitiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuacayang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang sumpitnya. Sejak hari itu, saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan baik kepadanya." Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamumemalingkan perhatiannya kepadaku.

Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku,"Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasihadalah adikku." Dan dalam kesempatan yang palingberbahagia ini, di depan kerumunan perayaan ini, airmata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai.

Diterjemahkan dari : "I cried for my brother six times"

Artikel ini gw dapet dari Jun, tq atas artikel dan nasihatnya!!!
Smoga cerpen di crita singkat di atas bisa jadi bahan renungan, selalu bersyukur atas nikmat yang telah kita dapat,slalu meliat ke bawah, masi banyak orang yang masi ditimpa kesusahan, belum dikasih nikmat yang cukup oleh Allah tepatnya. Tapi dalam ibadah kita harus selalu meliat ke atas, meliat orang yang kaya dalam ibadahnya

No comments:

Kembali Lagi

Oh astaga... Blog ini udah terlantar, ga ada postingan lagi sejak 2015. Sekarang udah Mei 2017  Sejak pindah ke kantor baru gegara ...